Syaifur Rizal Sebuah jurnal

Aset

Ketika melihat laporan keuangan suatu perusahaan, pada bagian awal, di sana tersaji data aset yang dimiliki perusahaan tersebut ketika laporan keuangannya dibuat. Aset di situ dibagi menjadi dua bagian, yaitu aset lancar dan aset tidak lancar.

Aset lancar bisa dikatakan adalah aset likuid yang berupa uang kas atau hal-hal yang bisa dikonversikan menjadi uang dalam waktu yang relatif singkat, semisal piutang atau surat berharga yang jatuh tempo kurang dari setahun pembukuan, persediaan barang yang akan dijual dalam jangka waktu kurang dari satu tahun pembukuan, dan sebagainya.

Aset berikutnya adalah aset tidak lancar. Dimana aset ini adalah aset yang dimiliki perusahaan dan manfaatnya bisa disimpan atau digunakan dalam jangka waktu lebih dari satu tahun pembukuan. Semisal saja tanah, bangunan, mesin-mesin produksi, piutang atau surat berharga lainnya yang jatuh tempo lebih dari satu tahun pembukuan, atau juga hak paten atau nilai pembelian lisensi atau merk dagang.

Sewajarnya suatu bisnis, jika bisnis berjalan dengan lancar dan konsisten cuan, sudah hampir pasti kita akan melihat besarnya nilai aset yang dimiliki suatu perusahaan mestinya akan naik dari waktu ke waktu. Akan sangat aneh dan perlu dipertanyakan jika ada yang mengatakan bahwa perusahaan A itu bagus tapi selama bertahun-tahun aset yang dimiliki perusahaan hanya segitu-gitu saja.

Pun demikian, ada juga perusahaan yang asetnya hanya segitu-gitu saja karena setiap cuan dalam satu periode hampir semuanya mereka bagikan ke pemilik saham dalam bentuk dividen—dengan payout ratio total mendekati 100% dalam satu tahun buku. Perusahaan yang model beginian cocoknya dibeli ketika harga saham yang ditawarkan memberikan yield dividen yang menarik.

Lalu berapa besar yield dividen yang menarik itu? Tentu saja hal ini akan berbeda dari satu investor ke investor yang lain. Dengan asumsi perusahaan ini akan terus konsisten mencetak laba, maka yield dividen akan menjadi parameter utama ke return yang diharapkan dari masing-masing investor dalam jangka waktu ke depannya. Istilahnya kalau buka usaha bisnis sendiri seperti kapan kedepannya kira-kira bisa setidaknya BEP dan mulai mengoleksi cuan.

Meskipun kenaikan nilai aset suatu perusahaan bisa menjadi indikator bahwa perusahaan tersebut terus bertumbuh dari cuan bisnis mereka dari periode ke periode, tapi ada juga perusahaan yang asetnya naik bukan karena cuan melainkan karena adanya suntikan modal kerja baru baik dari pemegang saham utama, penerbitan saham baru, atau yang paling parah adalah dengan menggembungnya hutang yang konsisten bertambah dari tahun ke tahun.

Oleh sebab itu dalam laporan keuangan suatu perusahaan di bagian setelah aset disajikan data mengenai liabilitas atau beban tanggungan yang dimilikinya.

Liabilitas sendiri dibagi menjadi dua bagian yaitu liabilitas jangka pendek dan liabilitas jangka panjang. Liabilitas jangka pendek adalah beban tanggungan yang harus diselesaikan perusahaan dalam kurun waktu kurang dari satu tahun pembukuan. Sedangkan liabilitas jangka panjang adalah beban tanggungan yang harus diselesaikan oleh perusahaan dengan jangka waktu lebih dari satu tahun pembukuan.

Jika aset kita kurangkan dengan liabilitas maka kita akan mendapatkan ekuitas, yaitu aset yang benar-benar menjadi milik perusahaan—yang semestinya terdiri atas modal awal maupun modal yang disetor oleh pemilik perusahaan ditambah dengan jumlah laba yang ditahan atau laba yang dikumpulkan dari tahun ke tahun. Sederhananya sih gitu. Ndak tahu juga kalau intepretasi menurut pembukuan yang benar itu seperti bagaimana.

Balik lagi soal aset dan soal harga saham.

Secara insting, setidaknya menurut saya, harga saham itu wajar jika setidaknya nilai total ekuitas (aset dikurangi liabilitas) nilainya sama atau dekat-dekat dengan nilai market cap. Pun demikian entah mengapa kadang juga ada yang mengatakan bahwa untuk sektor-sektor tertentu harga wajar suatu saham adalah ketika nilai market cap sama dengan nilai asetnya.

Tapi yang jelas jika nilai market cap saham suatu perusahaan jauh di atas nilai asetnya, keknya itu sudah kurang masuk akal terutama untuk pasar saham di Indonesia. Apalagi jika perusahaan tersebut memiliki ROA dan ROE yang biasa-biasa saja—lebih parah lagi bagi perusahaan yang masih konsisten rugi dan tidak ada tanda-tanda perbaikan cash flow.

Baiklah, sebenarnya saya mau ngrasani salah satu emiten di bursa. Emiten satu ini memiliki ROA dan ROE yang bisa dibilang emejing. Tapi jika kita melihat pertumbuhan nilai asetnya dari tahun ke tahun bisa dikatakan segitu-gitu saja. Dan satu-satunya yang benar-benar menarik dari perusahaan ini—setidaknya menurut saya—hanyalah jika yield dividennya atraktif.

Tapi berapa persenkah yield dividen yang atraktif itu? Semua terserah Anda.

Yang penting jangan sampai memutuskan beli hanya karena ada yang mengatakan bahwa emiten A atau B itu bagus. Tapi setidaknya kita harus benar-benar tahu return utama seperti apa yang akan kita dapatkan; apakah apresiasi harga atau dividen. Jika menginginkan apresiasi harga—dalam artian dalam jangka waktu ke depan akan dijual kembali—maka dividen adalah bonus. Sebaliknya jika mengharapkan return utama adalah dividen, maka apresiasi harga adalah bonus—kalau-kalau di masa yang akan datang berubah pikiran dan ingin menjual saham yang kita miliki.

Apakah bisa keduanya? Bisa saja. Semisal ketika mengharapkan total dividen yang akan didapat dalam beberapa tahun ke depan—katakanlah BEP—ternyata telah bisa dicapai dalam bentuk apresiasi harga yang kurang dari satu atau dua tahun kepemilikan. Lalu ketika melihat peforma fundamental yang masih saja sama dan tidak ada perubahan signifikan, maka menjual—memilih apresiasi harga—menjadi masuk akal.